Studi Kasus Tumbangnya Situs Tokopedia dan Bukalapak

Pada awal Maret 2017 situs tokopedia dan bukalapak tumbang. Tidak ketinggalan situs JD.ID juga down. Ternyata mereka memakai satu data center yang sama, yakni Biznet Data Center. Setelah kami coba selidiki, data center biznet ini mengalami kegagalan pada pembangkit listrik cadangan. Tentu hal ini membawa beberapa hal yang perlu kita jadikan studi kasus. Berikut studi kasus atas tumbangya situs tokopedia dan bukalapak.


Studi Kasus Tumbangnya Situs Tokopedia dan Bukalapak

Penyebab Tumbangnya Situs Tokopedia dan BukaLapak


Berdasarkan dari pengamatan kami, data center biznet yang mereka pakai mengalami kegagalan dalam membangkitkan daya listrik. Hal ini disebabkan UPS Flywheel yang mereka gunakan (untuk menghemat biaya colocation bagi para penyewa) gagal dalam membangkitkan generator diesel.

UPS Flywheel menggunakan tenaga kinetik (rotary), yang mana konversi listrik dibutuhkan untuk membangkitkan genset akan memerlukan load balance. Dan ini secara prosedur standard manajemen data center akan memerlukan pengujian berkala paling tidak dua minggu sekali. Pengujian terhadap sistem disaster recovery pada sebuah fasilitas data center yang menyewakan colocation server adalah sangat penting.

Downtime pada sebuah fasilitas data center dapat menyebabkan kerugian pada yang menyewa ruangan server. Dalam hal ini, seharusnya setiap tenant juga menyiapkan rencana disaster recovery. Disini dapat kita lihat bahwa baik JD.ID, Tokopedia dan Bukalapak, belum memiliki  rencana keberlanjutan usaha (BCP).

Dampak Tumbangnya Situs Tokopedia


Penurunan tingkat kepercayaan pengguna akan terjadi. Ini dapat terlihat dari menurunnya jumlah kunjungan seminggu setelah terjadinya downtime selama 6 jam pada data center biznet yang mereka pakai.

Penurunan pengunjung terjadi di situs marketplace tersebut sebanyak 1000 pengunjung per hari. Jika ini berlangsung terus, hilangnya ratusan ribu pengguna akan menjadi potensi kerugian yang besar.

Valuasi bisnis tokopedia dipercaya menembus angka Rp. 12 Triliun. Dengan 12 juta pengguna, tentunya akan dapat kita ketahui bahwa biaya aktivasi per user adalah Rp. 1 juta. Jika terjadi penurunan jumlah pengguna aktif di tokopedia sebesar 1000 orang saja, maka akan ada konsekwensi biaya atas tumbangnya situs tokopedia tersebut.

Jumlah transaksi yang terjadi di tokopedia adalah sebesar Rp. 30 milyar per hari. Dengan downtime selama 6 jam, tokopedia berpotensi hilang transaksi sebesar Rp. 18 Milyar. Belum lagi ditambah biaya pemulihan, dimana tokopedia harus mengeluarkan biaya untuk iklan.

Tumbangnya situs tokopedia membawa perhatian dunia pada industri data center Indonesia. Bahwa dalam hal ini, seharusnya pihak Kominfo menegakkan PP 82 tahun 2012. Dimana seluruh bisnis yang menyelenggarakan transaksi elektronik harus memilki disaster recovery yang berada di Indonesia.

Tumbangnya data center juga terjadi pada penyedia cloud terbesar di dunia, Amazon Web Service (AWS) beberapa hari setelah tumbangnya situs tokopedia. Dengan demikian, perusahaan seperti GoJek dan GrabBike yang memakai hosting cloud AWS sudah seharusnya memiliki layanan disaster recovery di data center Indonesia sebagai penerapan strategi keberlangsungan usaha dan untuk memenuhi persyaratan baik oleh pemerintah maupun oleh para investor.

Investor Akan Kecewa


Dampak lainnya dari tumbangya situs tokopedia adalah kekecewaan investor. Tentu para investor akan bertanya-tanya, dengan dana besar yang di gelontorkan kenapa sampai bisa salah pilih data center. Seharusnya, sebuah data center untuk operasional non stop hanya akan memiliki tingkat downtime maksimal 1.5 jam dalam kurun waktu 365 hari. Ini artinya, downtime hanya akan terjadi selama 15 detik saja dalam 1 hari.

Selain itu, kenapa tidak ada disaster recovery. Sebuah solusi disaster recovery akan berguna jika data center biznet mengalami downtime. Saat data center utama mengalami masalah, maka sistem akan otomatis mengalihkan operasional sementara pada data center cadangan (DRC site).

Kesimpulan:

Biaya DR Colocation tidak seberapa dibanding biaya downtime per jam, apalagi 6 jam. Dengan potensi kerugian downtime per jam mencapai Rp. 1 milyar, sebuah perusahaan sebaiknya menggunakan disaster recovery. Biaya downtime per jam hampir sama dengan biaya disaster recovery selama 3 hingga 5 tahun. Tentu ini akan menjadi pertanyaan besar bagi para investor.

Komentar